BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, 01 September 2010

Profesor Ceko Ini Berjasa Bagi Indonesia



Usianya sudah 84 tahun. Tubuhnya sudah dimakan usia. Tapi kecintaan ilmuwan Ceko ini kepada Indonesia tak pernah luntur.

Sejak mengenal bahasa Indonesia 64 tahun lalu di Institut Oriental di Praha, Profesor Zorica Dubovska terus mencintai bahasa dan budaya Indonesia, yang menurut dia sangat indah.

Dedikasi dan upayanya yang tak kenal lelah dalam mempromosikan bahasa dan budaya negeri ini membuat Dubovska mendapat penghargaan dari pemerintah Indonesia berupa Bintang Jasa Pratama.

Sebenarnya surat keputusan Presiden atas pengukuhan penghargaan itu sudah terbit pada 2009. Namun bintang jasa tersebut disematkan langsung kepada Dubovska oleh Kuasa Usaha Ad Interim Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Praha, Azis Nurwahyudi, pada upacara peringatan HUT RI ke-65 yang berlangsung di ibukota Ceko itu pada Selasa, 17 Agustus 2010.

Mengenakan setelah berwarna kemerahan bermotif parang, Dubovska tampak sungguh terharu menerima penghargaan yang menurutnya tak pernah diharapkannya. Profesor yang sesekali masih mengajar di sela waktu pensiunnya ini mengaku bahwa dirinya hanya orang biasa.

“Saya ini hanya orang kecil, tak pernah berharap akan mendapatkan penghargaan yang setinggi ini, “ ujarnya.

Dubovska tercatat sebagai pelajar Ceko pertama yang belajar bahasa Indonesia dan berhasil meraih gelar diploma. Intensitasnya mempelajari bahasa Indonesia membawanya menjadi staf di Kedutaan Besar Cekoslowakia di Indonesia tahun 1958-1959.

Dubovska pun terlibat dalam pembuatan proses produksi film bersama Indonesia-Ceko, berjudul Aksi Kalimantan, pada tahun 1961.

Untuk mengajak lebih banyak masyarakat Ceko berbahasa Indonesia, Dubovska memutuskan menjadi dosen di Fakultas Sastra Universitas Carolina pada tahun 1962 hingga tahun 1964. Tahun 1968 Ceko diokupasi Uni Sovyet yang menyebabkan hubungan Ceko dan Indonesia menjadi renggang.

Dua belas mahasiswa yang telah terdaftar di jurusan bahasa Indonesia di Fakultas Sastra Dubovska mengajar, rupanya menjadi angkatan terakhir karena, setelah tahun 1974 jurusan tersebut ditutup.

Aktivitas mengajar Prof.Dubovska sempat terhambat, karena penolakannya untuk bergabung dengan Partai Komunis sebagai anggota, yang menyebabkan statusnya gagal menjadi dosen tetap.

Sederet karya telah diterbitkannya antara lain, Dongeng Rakyat Indonesia (1966), Buku Bacaan Indonesia Untuk Mahasiswa (1969), Pengantar Untuk Bahasa Jawa (1974), Buku Pelajaran Bahasa Indonesia (1998), Antologi Kesusasteraan Indonesia Modern (1996), dan Sejarah Indonesia (2005).

Karya terbaru Dubovska terbaru adalah terjemahan Serat Arjuna Wiwaha dari bahasa aslinya, Jawa Kuno, ke dalam bahasa Ceko. Terjemahan itu sedang dalam proses penerbitan.

Meski mengaku sudah tak mengikuti perkembangan terbaru bahasa Indonesia, Dubovska menyatakan bahwa kecintaannya pada bahasa Indonesia tak akan pernah pudar, dan penghargaan ini akan selalu dikenangnya seumur hidup.

Read More......

Zynga Rekrut Bekas Direktur MySpace


Bekas Direktur jejaring sosial MySpace, Owen Van Natta, kembali beredar di industri online, setelah ia direkrut oleh perusahaan game onlineZynga.

Zynga, yang selama ini telah membuat berbagai game populer di Facebook, seperti FarmVille dan Mafia Wars, merekrut Van Natta sebagai Executive Vice President of Business Operations di perusahaan itu.

Seperti dikutip dari situs VentureBeat, Van Natta yang sebelumnya adalah konsultan bagi Zynga, akan mulai bekerja di Zynga pada Senin pekan ini. Ia juga langsung bergabung ke dalam jajaran dewan direksi Zynga.

Sebelumnya, Van Natta sempat menjadi Chief Executive Officer pada jejaring sosial MySpace. Namun akibat konflik dengan Jonathan Miller, Chief Digital Officer News Corp (perusahaan induk MySpace), Van Natta dipecat dari MySpace, pada Februari lalu.

Owen Van Natta juga sempat bergabung dengan Facebook, sebagai Chief Revenue Officer. Perannya cukup penting ketika Microsoft melakukan investasi di Facebook sebesar US$ 240 juta pada tahun 2007.

Di Zynga Van Natta akan menangani strategi perusahaan dalam menjaring pendapatan, pengembangan perusahaan, ekspansi internal, dan brand perusahaan. Ia akan langsung melapor kepada pendiri dan Chief Executive Zynga, Mark Pincus.

Van Natta bukan satu-satunya tokoh papan atas yang masuk ke Zynga. Sebelum dia, Zynga juga merekrut Dave Wehner, bekas Managing Director di Allen & Co, sebagai Chief Finance Officer.

Saat ini Zynga merupakan salah satu perusahaan Silicon Valley yang cukup prospektif, dan memiliki rencana ekspansi internasional. Di Jepang, Zynga baru saja membuat sebuah joint venture dengan perusahaan internet raksasa Jepang, Softbank untuk melakukan ekspansi di Asia.

Baru-baru ini, Google juga dikabarkan melakukan investasi di Zynga dan membawa beberapa game Zynga ke jejaring sosial yang tengah dikembangkan Google, Google Me.

Read More......

Menuju Tiang Gantung Malaysia



MEREKA datang dari Serambi Mekah. Negeri elok di ujung barat Indonesia, Nanggroe Aceh Darussalam. Dipimpin pengacara senior daerah itu, Saifuddin Gani, rombongan ini berjumlah sembilan orang. Mei 2007 itu, mereka diutus Gubernur Irwandi Yusuf ke penjara Kajang, kota kecil di selatan Kualalumpur.

Penjara itu sungguh ketat. Rombongan ini harus melewati tiga pintu besi yang menjulang. Di pintu pertama mereka digeledah. Telpon genggam dan dompet disita. Disimpan sipir penjara di loker tamu. Benda yang boleh masuk cuma alat tulis, buku dan balpoin.



Lalu tibalah mereka di ruang berukuran 12x8 meter. Di sinilah pertemuan itu berlangsung. Para utusan itu bersua dengan para narapidana yang berasal dari Aceh. Jumlahnya 56 orang.

Duduk berbanjar mereka mengenakan seragam penjara. Baju putih, celana juga putih. “Tangan dan kaki mereka dirantai,” kisah ketua tim kepada VIVAnews, Selasa,24 Agustus 2010. Di kiri-kanan para narapidana itu berdiri tegak sipir penjara.

Semua narapidana itu meringkuk di situ lantaran kasus narkoba. Sudah sepuluh Ramadan menghuni kamar bui. Mereka dijatuhi hukuman mati. Harapan hidup cuma datang dari Jakarta. Tapi bertahun-tahun ditunggu, bantuan itu tak kunjung datang.

Itu sebabnya, dalam pertemuan di Kajang itu, para narapidana itu berkeluh kesah. Mereka mengaku sudah habis asa. Sudah berpuluh surat dikirim ke Aceh, saat propinsi itu dipimpin Ibrahim Hasan dan Abdullah Puteh. Tapi tak berjawab. Mereka pasrah. Menunggu digiring ke tiang gantung.

Sampai akhirnya Aceh berganti pemimpin. Irwandi Yusuf naik ke pucuk. Gubernur baru ini --yang juga menerima surat permohonan bantuan para narapidana itu --langsung membentuk tim bantuan hukum. Tim itulah yang datang ke Kajang, Mei 2007 itu.

Sesudah pertemuan itu, empat kali tim ini bolak-balik ke Kajang. Pemerintah Aceh menyediakan dana Rp 300 juta untuk kasus ini. Tapi duit sejumlah itu cuma cukup membela lima orang. Dan juga "nasi sudah jadi bubur". Bantuan itu terlambat sudah. Tata cara perkara di negeri itu, kisah Saifuddin, mengharuskan semua pembuktian dilakukan ditingkat pengadilan negeri.

Lalu mengapa bantuan hukum itu baru datang ketika tiang gantung sudah ada di depan mata? Kedutaan Republik Indonesia di Kualalumpur sesungguhnya sudah sekuat tenaga membantu. Ketika kasus ini disidangkan di pengadilan negeri, mereka didampingi pengacara dari kedutaan. Saat kasus ini masuk pengadilan tinggi, kedutaan mengirim pengacara bayaran. Dua-duanya kandas.

Sebenarnya, tugas tim Saifuddin hanya memberi laporan dan masukan kepada Gubernur Aceh, melalui kepala Biro Hukum dan Humas pemerintah Aceh. Tapi setelah laporan dan data diserahkan, tidak ada kabar beritanya lagi.

Irwandi tidak pernah memangil mereka lagi untuk membicarakan pembelaan terhadap para tahanan itu. Sejumlah kabar menyebutkan bahwa Irwandi -- yang mantan ahli strategi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu-- juga telah kehabisan asa. Dan kisah tim 9 dari Aceh itu kemudian senyap di tengah jalan. “Komunikasi kami dengan Gubernur waktu itu kurang, malah tidak pernah bertemu dengan beliau membicarakan soal tahanan,” kata Saifuddin.

345 Orang Menunggu Mati

Ini memang bukan lagi perkara Gubernur Aceh. Sebab mereka yang menunggu mati di negeri jiran itu, berjumlah ratusan dan datang dari hampir seluruh wilayah di negeri besar ini.

Tiga lembaga swadaya masyarakat - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), INFID, dan Migrant Care – melansir bahwa total jumlah warga Indonesia yang terancam hukuman mati 345 orang.

Bahkan, seperti yang dilansir kantor berita Antara, dalam suatu pertemuan di Surabaya 25 Maret 2010, Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Da’i Bachtiar, mengungkapkan angka yang lebih besar lagi, yaitu sebanyak 354 orang.

Belakangan, Kementrian Luar Negeri Indonesia (Kemlu) “meralat” angka itu. Menurut Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, jumlah WNI yang terancam hukuman mati di Malaysia tidak sebesar yang dikabarkan. “Yang terancam hukuman mati 177 orang,” kata Natalegawa kepada para wartawan di kantor Presiden Jakarta, Selasa 24 Agustus 2010.

Dari 177 orang itu, 142 orang dihukum mati karena kasus Narkoba dan 35 orang terlibat kasus Non-Narkoba. Namun 3 kasus telah dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan federal dan dalam proses permohonan pengampunan kepada badan pengampunan negara (State Pardon Board). Semua terpidana terlibat dalam kasus narkoba.

Tapi nyawa bukan urusan statistik. Berapa pun jumlahnya, bantuan diplomasi Jakarta sangat ditunggu, dan mungkin cuma itu satu-satunya jalan. Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI di Malaysia sudah melakukan segala cara. Pada tahun 2007-2010 telah berhasil mengupayakan pembebasan dari ancaman hukuman mati terhadap 21 terdakwa WNI, dengan rincian 15 kasus Narkoba dan 6 kasus Non-Narkoba.

Simpang-siurnya data itu membuat Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, menjadi gusar. Dia menyayangkan perdebatan penuntasan soal TKI atau WNI yang terancam hukuman mati di Malaysia cenderung menjadi perdebatan dan klarifikasi sekedar soal angka semata.

“Kami ingin menegaskan bahwa pemerintah sudah salah kaprah dengan mengkerdilkan persoalan TKI sebatas dengan angka-angka itu. Padahal masalah ini terkait persoalan HAM, kewajiban pelayanan negara dan pemenuhan hak warga negara,” ujar Anis kepada VIVAnews.

Menurut Anis, kalau pemerintah terus disibukkan dengan klarifikasi data, dikhawatirkan pemerintah lalai tidak gerak cepat menyelamatkan 3 TKI itu. Karena proses pembebasannya tidak mudah. Oleh karena itu, jika tidak ditanggapi serius, saya kawatir akan berakhir dengan eksekusi mati,” kata Anis.

Kekhawatiran Anis ini terkait pada data bahwa sejak akhir dekade 1980-an, sudah tiga warga Indonesia yang telah dieksekusi mati di Malaysia. Dua diantara mereka adalah Basri Masse dengan kasus narkoba, dan Marzuki Karno atas kasus pembunuhan.

Menurut Anis, mayoritas kasus hukum yang membelit TKI di Malaysia adalah pembunuhan dan narkoba. “Dari pengalaman kita saat mendampingi mereka (TKI yang melakukan pmbunuhan), tindakan ini berlatar belakang buruknya sikap majikan, TKI tidak dapat haknya atau upah kerja,” kata Anis.

Dia mengaku pernah dampingi seorang TKI yang empat bulan tidak diupah kerja sehingga dia nekat membunuh. Sehingga terjadi konflik antara TKI dan majikannya. Dan ini yang jarang dibahas: hal yang melatari pembunuhan terjadi. Yang terjadi malah fokusnya hanya pada tindak kriminal dan pembunuhannya saja. Tapi latar belakang dibalik itu sering dilupakan.

Mengenai kasus narkoba? Menurut Anis, mayoritas itu TKI dari Aceh. Karena yang namanya ganja itu sudah umum di Aceh menjadi penyedap masakan pakai ganja. “Ini mesti menjadi pertimbangan hukum serta harus didiskusikan secara antropologis,” ujar Anis.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan atau Kontras Aceh, kembali mengangkat isu TKI Aceh yang akan digantung di Malaysia itu, pertengahan Agustus ini. Asiah Uzia, Wakil koordinator Kontras Aceh, menerima sepucuk surat dari Bustamam Bin Bukhari dan Tarmizi Bin Yakob yang ditujukan untuknya.

Isinya mengabarkan mereka telah mendapatkan putusan hukum tetap: digantung sampai mati (Baca juga: Mimpi Buruk di Negeri Ringgit) . Kini mereka telah dipindahkan ke Penjara Pokok Sena, Kedah, Malaysia. Surat yang ditulis Bustamam itu masih berisi harapan agar pemerintah mau melobi Kerajaan Malaysia untuk meringankan hukuman.

“Dengan beribu-ribu pengharapan dan mengharap simpati, kami meminta siapapun yang terlibat untuk dapat membuat lawatan dan pembuatan permohonan ampun kepada kerjaan Malaysia,” tulis Bustamam.

Dari data yang dikumpulkan tim bentukan pemerintah Aceh, terdapat 262 orang Aceh yang tersangkut kasus hukum di Malaysia. 195 orang diantaranya diancam hukuman mati karena dadah. Hanya 36 diantaranya yang tak digantung, karena berat ganja yang dibawa tak cukup gram.

Mereka tersebar di dua tempat: Penjara Kajang dan Sungai Buloh. Bustamam Bin Bukhari dan Tarmizi Bin Yakob serta Parlan Bin Dadeh adalah tiga narapidana yang akan segera dihukum gantung.

Asiah mengatakan, para TKI yang terancam hukuman mati itu merupakan korban dari konflik Aceh yang perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah. Kata Asiah, mereka melarikan diri dari Aceh untuk mencari penghidupan yang layak. Di Aceh mereka terkurung dalam konflik.

“Bagaimanapun negara punya tangungjawab untuk membantu meringankan hukuman mereka, mereka melakukan itu mungkin karena terdesak, karena tidak memiliki pekerjaan,” katanya.

Menurut dia, upaya bantuan hukum yang diberikan pemerintah melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia tidak maksimal. Pasalnya banyak keluhan dari para tahanan bahwa pengacara yang ditunjuk tidak serius menangani kasus.

Karena tak puas, bahkan ada tahanan yang menyewa pengacara sendiri. “Mereka minta dikirimkan uang dari kampung untuk menyewa pengacara sendiri, kebanyakan mereka berhasil dan tidak sampai dihukum mati,” ujar Asiah.

Diplomat "Merayulah"

Pemerintah, baik di tingkat pusat dan lokal, terus berupaya menyelamatkan warga yang terancam hukuman mati di Malaysia. Jurubicara Kementrian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, mengungkapkan bahwa dalam tiga tahun terakhir sudah 21 WNI di Malaysia yang diringankan hukumannya, dari hukuman mati diubah ke hukuman lain (Baca wawancara Teuku Faizasyah: Kita Lagi Mencari Celah Pengampunan).

“Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur melakukan pengkajian dengan pengacara yang ditunjuk KBRI. Proses itu sedang dilakukan sekarang. Kita bukan ahli hukum, jadi perlu dibicarakan dengan ahli hukum di sana yang mengerti hukum Malaysia untuk mencari apakah celah-celah hukum itu ada,” kata Faizasyah kepada VIVAnews.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar, mengungkapkan bahwa ada atase tenaga kerja dari pejabat eselon dua di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur. Atase itu bertugas setiap saat memonitor, menindaklanjuti dan mencari solusi. “Bila ada masalah, perwakilan kita memberitahu anggota keluarga di kampung halaman, lalu mengawal keringanan dan pembebasan kalau bisa dilakukan,“ kata Muhaimin kepada VIVAnews.

Namun, menurut dia, mekanisme itu bisa berjalan dengan efektif dengan syarat para pekerja harus terdata, legal, dan dijamin asuransi. Dia mengakui, langkah itu sulit diterapkan bila ada warga yang masuk dan bekerja secara ilegal di Malaysia. ”Siapapun tidak tahu pasti keberadaan jumlah, jenis, dan kasusnya,” kata mantan Wakil Ketua DPR itu.

Menurut Faizasyah, setiap kasus hukum yang menimpa warga di Malaysia ada ciri khasnya. “Itu yang sedang dipelajari dengan tenaga pengacara setempat. Celah hukum apa yang bisa kita manfaatkan, celah hukum itu yang kemudian kita tampilkan dalam surat permohonan clemency (ampunan), grasi atau bentuk-bentuk lainnya,” kata Faizasyah.

Upaya serupa juga dilakukan pemerintah di tingkat lokal. Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf sebenarnya telah melakukan upaya merayu kerajaan Malaysia dalam sebuah lawatan di tahun 2008 lalu. Kala itu, Irwandi bertemu untuk urusan bisnis. Tapi sayang, upayanya kandas.

Pemerintah Malaysia tidak menghiraukan pembicaraan itu. Irwandi akhirnya lepas tangan. Tidak ada lagi upaya lanjutan untuk melakukan pembelaan terhadap para narapidana asal Aceh itu.

“Aceh ini kan bukan negara, jadi seharusnya memang presiden yang turun langsung membicarakan ini dengan pihak kerajaan, government to government,” ujar Saifuddin Gani.

Menurut Saifuddin, pemerintah Thailand pernah melakukan upaya pembelaan terhadap warganya yang juga akan dihukum gantung di Malaysia. Mereka berhasil setelah kerjaaan Thailand bertemu langsung dengan raja Malaysia.

“Banyak orang-orang di sana yang menyarankan agar Indonesia mencoba melakukan hal yang sama, jadi memang membutuhkan pembicaraan langsung antar pemerintah,” ujarnya.

Tunggu Mati di Selanggor

Bustamam,Tarmizi, dan Parlan Bin Dadeh kini telah terasing di penjara Pokok Sena, Selangor Malaysia. Mereka ditempatkan dalam bangsal yang terpisah-pisah. Dalam ruang jeruji berukuran 3x3 meter, mereka menghitung hari menuggu giliran dieksekusi. Tidak ada lagi mimpi bisa kembali ke Aceh.

Di hari-hari suram itu, di tengah bayangan tiang gantungan, mereka tak kan pernah berhenti berharap pada apa saja yang meringankan hukuman mereka. Termasuk "rayuan" istana ke negeri serumpun itu.

Laporan Muhammad Riza (Aceh) | Iwan Kurniawan (Jakarta)
• VIVAnews

Read More......

Anggodo Dihukum, Bibit-Chandra Direkayasa?


Setelah melalui proses panjang, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akhirnya menjatuhkan vonis empat tahun penjara ke Anggodo Widjojo. Anggodo dinyatakan terbukti melakukan pemufakatan jahat untuk menyuap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi," kata Ketua Majelis Hakim, Tjokorda Rai Suamba, saat membacakan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa 31 Agustus 2010.

Dalam pertimbangannya, Hakim menilai Anggodo terbukti bersalah sesuai dengan dakwaan Pasal 15 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Majelis Hakim menilai, Anggodo terbukti bersama-sama dengan Ary Muladi dan Eddy Soemarsono telah bermufakat jahat untuk menyuap pimpinan KPK.

Suap itu terkait dengan upaya KPK yang tengah mengusut kasus dugaan korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan. Dalam kasus ini, kakak kandung Anggodo, Anggoro Widjojo telah ditetapkan menjadi tersangka.

Hakim menemukan fakta bahwa Anggodo terbukti telah mengetahui adanya penggeledahan di PT Masaro Radiokom, perusahaan milik Anggoro. Setelah itu, Anggodo menghubungi Ary Muladi yang mengaku mengenal Deputi Penindakan KPK, Ade Rahardja.

Anggodo meminta kepada Ary Muladi agar pimpinan KPK tidak mengusut kasus SKRT. Caranya, dengan memberikan sejumlah uang kepada pimpinan KPK. "Atensi Rp12 miliar," ujar Hakim Dudu Swara. "Dengan itu, unsur pemufakatan jahat telah terpenuhi."

Namun, Majelis Hakim tidak menemukan bukti Anggodo telah merintangi penyidikan KPK atas kasus SKRT. Hal ini seperti dakwaan dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam pertimbangannya, majelis melihat bahwa pada 14 Agustus 2008, KPK telah menetapkan HM Yusuf Erwin Faishal sebagai tersangka atas kasus penerimaan uang dari Anggoro Widjojo dalam kasus SKRT. Atas tuduhan itu, Anggoro kemudian dipanggil KPK dan ditetapkan sebagai tersangka.

Mengetahui hal ini, Anggodo bersama dengan pengacaranya, Bonaran Situmeang kemudian melaporkan KPK ke Mabes Polri atas tuduhan bertindak sewenang-wenang. "Perbuatan terdakwa dan Bonaran melaporkan ke mabes, tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan mencegah, merintangi. Karenanya harus dibebaskan dari perbuatan merintangi upaya penyidikan dan bebas dari dakwaan kedua," ujar hakim.

Atas dasar itu, majelis kemudian sepakat memvonis Anggodo dengan hukuman empat tahun penjara. Anggodo juga diharuskan membayar denda Rp150 juta, jika tidak dibayar maka hukumannya ditambah tiga bulan penjara.

Meski vonis jauh lebih rendah dibanding tuntutan jaksa, enam tahun penjara, namun Anggodo tetap mengajukan banding kepada Majelis Hakim. Alasannya, Anggodo tidak mau sendirian menjadi pesakitan. Dia ingin Ary Muladi dan Eddy Soemarsono juga cepat dijerat dalam kasus serupa.

Namun, upaya banding tidak dilakukan jaksa penuntut umum. Jaksa hanya mengajukan pikir-pikir atas putusan tersebut.

Atas putusan itu, pengacara Anggodo, OC Kaligis menilai perkara yang menjerat kliennya itu adalah sebuah sandiwara. "Alasannya, Anggodo tidak mengenal satu pun orang-orang di KPK. Bagaimana dia mau menghalangi kinerja KPK jika dia tidak kenal satupun orang KPK?" kata OC Kaligis.

Kaligis menambahkan orang yang mengenal pejabat di KPK adalah Ary Muladi yang memang disuruh Anggodo untuk menggelontorkan uang Rp5,1 miliar.

Selain itu, sambung Kaligis, pengadilan juga tidak menyatakan bahwa KPK telah dilemahkan terkait perkara ini. "Dalam pertimbangan pun, majelis menyatakan bahwa atensi (soal uang) berasal dari Ade Rahardja (Deputi Penindakan KPK). Jadi memang ada hubungan Ary-Ade," kata dia.

Artinya, kata dia, kliennya sama sekali tidak mengenal siapapun di KPK, Ary lah yang berhubungan dengan pimpinan KPK melaui Ade. "Kami akan mencari keadilan. Kami akan banding," kata dia.

Lain halnya dengan Kaligis, vonis terhadap Anggodo ini ditanggapi berbeda oleh pengacara dua komisioner KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.

Ahmad Rifai selaku pengacara Bibit-Chandra melihat putusan terhadap Anggodo itu justru membuktikan bahwa tuduhan adanya rekayasa kepada kliennya semakin terang benderang. "Kronologi pemerasan oleh pimpinan KPK yang dibuat oleh Anggodo menjadi tidak ada dasarnya," ujarnya.

Rifai pun meminta kepada pihak penegak hukum segera melepaskan dua kliennya dari kasus menerima suap seperti yang dituduhkan kepolisian. "Bukti-bukti Pak Bibit dan Pak Chandra memeras tidak ada. Jadi sandiwara Anggodo selama ini yang merasa diperas pimpinan KPK menjadi terbongkar semuanya," ujarnya.

Rudi Satrio, pengamat hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), menilai bahwa vonis terhadap Anggodo membuktikan bahwa kasus Bibit-Chandra telah direkayasa. Apalagi, bukti call data record percakapan antara Ade Rahardja dan Ary Muladi juga ternyata tidak ada.

Oleh karena itu, seharusnya penyidikan kasus ini tidak berhenti di Anggodo saja. "Semua yang disebut dalam bukti rekaman yang diputar di Mahkamah Konstitusi juga harus diusut KPK," kata Rudi.

Mengenai rekaman ini pertama kali dilontarkan oleh OC Kaligis. Pengacara Anggodo itu hakim untuk menghadirkan rekaman tersebut.

Majelis hakim pun memerintahkan kepada Polri yang diduga menyimpan rekaman itu untuk menghadirkannya di sidang. Polri kemudian berkilah, mereka tidak memiliki bukti rekaman. Bukti yang mereka miliki adalah berupa call data record atau CDR.

Namun, hingga persidangan kasus Anggodo berakhir, rekaman atau CDR itu tak kunjung dihadirkan dalam persidangan. Pihak Polri pun kemudian menyatakan bahwa CDR yang mereka miliki bukanlah catatan hubungan antara Ade dan Ary, melainkan Ary dengan pihak lain.

Hal senada diungkapkan Eddy OS Hiariej, pengamat hukum asal Universitas Gadjah Mada (UGM). Menurutnya, dengan putusan Anggodo terbukti bermufakat jahat untuk menyuap Bibit-Chandra, berarti rekayasa terhadap dua pimpinan KPK itu menjadi terbukti. "Ini momen bagi seluruh aparat penegak hukum untuk membersihkan kejaksaan dan kepolisian dari orang-orang seperti Anggodo," kata Eddy.

Eddy juga menilai bahwa putusan ini dapat dijadikan dasar bagi Mahkamah Agung sebagai pertimbangan dalam mengadili Peninjauan Kembali perkara SKPP Bibit-Chandra. "SKPP itu kan digugat Anggodo, dengan Anggodo terbukti bersalah, seharusnya MA mengabulkan permohonan PK dari kejaksaan," ujarnya.

Usulan dari Rudi dan Eddy ini mendapat dukungan dari Ahmad Rifai. Menurutnya, lembaga lain harus dapat menggunakan momen ini untuk membersihkan diri dari adanya mafia-mafia kasus.

****

Vonis terhadap Anggodo ini ternyata dinilai Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, masih terlalu ringan dan mengecewakan aktivis anti korupsi. "Secara keadilan tidak terpuaskan," kata Mahduf MD.

Menurut dia, pelaku korupsi dan penyuapan termasuk upaya penyuapan seharusnya dihukum berat. Tapi, kata dia, selama ini hukuman itu mengecewakan bagi pejuang-pejuang anti korupsi. "Kadangkala orang berharap mendekati 20 tahun kadangkala cuma empat tahun, dua tahun," ujarnya.

Dengan hukuman ringan itu, kata dia, rasa keadilan itu tidak terpuaskan. "Taruhlah kalau terpenuhi tidak, terpuaskan ada kalau hukuman setimpal," ujarnya.

Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, bahkan memberikan perbandingan antara vonis Anggodo dengan vonis seorang nenek yang dipenjara dua tahun karena persoalan bisnis senilai Rp5 juta.

"Ada orang, nenek-nenek, yang hanya persoalan Rp5 juta kaitan bisnis itu dipenjara. Saya mau bilang begitu saja, terserah anda untuk menerjemahkan," ucap menteri asal Partai Amanat Nasional ini.

Bahkan, Patrialis juga membandingkan vonis Anggodo dengan vonis pidana ringan, yang dihukum berat lainnya.

"Ada juga gara-gara uang Rp550 ribu, dihukum sembilan bulan penjara hanya gara-gara curi hp (handphone) dan hp-nya dikembalikan lagi. Kemudian dia tidak merugikan siapa-siapa tapi tetap dihukum sembilan bulan penjara," tutur Patrialis.

Apakah Patrialis merasakan ada ketidakadilan dalam vonis yang diberikan terhadap Anggodo? "Saya tidak mau memberikan penilaian. Tapi saya hanya ingin memberikan satu komparansi berdasarkan pengalaman saya di lapangan," ujar Patrialis. (sj)

Read More......