Setelah melalui proses panjang, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akhirnya menjatuhkan vonis empat tahun penjara ke Anggodo Widjojo. Anggodo dinyatakan terbukti melakukan pemufakatan jahat untuk menyuap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi," kata Ketua Majelis Hakim, Tjokorda Rai Suamba, saat membacakan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa 31 Agustus 2010.
Dalam pertimbangannya, Hakim menilai Anggodo terbukti bersalah sesuai dengan dakwaan Pasal 15 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Majelis Hakim menilai, Anggodo terbukti bersama-sama dengan Ary Muladi dan Eddy Soemarsono telah bermufakat jahat untuk menyuap pimpinan KPK.
Suap itu terkait dengan upaya KPK yang tengah mengusut kasus dugaan korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan. Dalam kasus ini, kakak kandung Anggodo, Anggoro Widjojo telah ditetapkan menjadi tersangka.
Hakim menemukan fakta bahwa Anggodo terbukti telah mengetahui adanya penggeledahan di PT Masaro Radiokom, perusahaan milik Anggoro. Setelah itu, Anggodo menghubungi Ary Muladi yang mengaku mengenal Deputi Penindakan KPK, Ade Rahardja.
Anggodo meminta kepada Ary Muladi agar pimpinan KPK tidak mengusut kasus SKRT. Caranya, dengan memberikan sejumlah uang kepada pimpinan KPK. "Atensi Rp12 miliar," ujar Hakim Dudu Swara. "Dengan itu, unsur pemufakatan jahat telah terpenuhi."
Namun, Majelis Hakim tidak menemukan bukti Anggodo telah merintangi penyidikan KPK atas kasus SKRT. Hal ini seperti dakwaan dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam pertimbangannya, majelis melihat bahwa pada 14 Agustus 2008, KPK telah menetapkan HM Yusuf Erwin Faishal sebagai tersangka atas kasus penerimaan uang dari Anggoro Widjojo dalam kasus SKRT. Atas tuduhan itu, Anggoro kemudian dipanggil KPK dan ditetapkan sebagai tersangka.
Mengetahui hal ini, Anggodo bersama dengan pengacaranya, Bonaran Situmeang kemudian melaporkan KPK ke Mabes Polri atas tuduhan bertindak sewenang-wenang. "Perbuatan terdakwa dan Bonaran melaporkan ke mabes, tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan mencegah, merintangi. Karenanya harus dibebaskan dari perbuatan merintangi upaya penyidikan dan bebas dari dakwaan kedua," ujar hakim.
Atas dasar itu, majelis kemudian sepakat memvonis Anggodo dengan hukuman empat tahun penjara. Anggodo juga diharuskan membayar denda Rp150 juta, jika tidak dibayar maka hukumannya ditambah tiga bulan penjara.
Meski vonis jauh lebih rendah dibanding tuntutan jaksa, enam tahun penjara, namun Anggodo tetap mengajukan banding kepada Majelis Hakim. Alasannya, Anggodo tidak mau sendirian menjadi pesakitan. Dia ingin Ary Muladi dan Eddy Soemarsono juga cepat dijerat dalam kasus serupa.
Namun, upaya banding tidak dilakukan jaksa penuntut umum. Jaksa hanya mengajukan pikir-pikir atas putusan tersebut.
Atas putusan itu, pengacara Anggodo, OC Kaligis menilai perkara yang menjerat kliennya itu adalah sebuah sandiwara. "Alasannya, Anggodo tidak mengenal satu pun orang-orang di KPK. Bagaimana dia mau menghalangi kinerja KPK jika dia tidak kenal satupun orang KPK?" kata OC Kaligis.
Kaligis menambahkan orang yang mengenal pejabat di KPK adalah Ary Muladi yang memang disuruh Anggodo untuk menggelontorkan uang Rp5,1 miliar.
Selain itu, sambung Kaligis, pengadilan juga tidak menyatakan bahwa KPK telah dilemahkan terkait perkara ini. "Dalam pertimbangan pun, majelis menyatakan bahwa atensi (soal uang) berasal dari Ade Rahardja (Deputi Penindakan KPK). Jadi memang ada hubungan Ary-Ade," kata dia.
Artinya, kata dia, kliennya sama sekali tidak mengenal siapapun di KPK, Ary lah yang berhubungan dengan pimpinan KPK melaui Ade. "Kami akan mencari keadilan. Kami akan banding," kata dia.
Lain halnya dengan Kaligis, vonis terhadap Anggodo ini ditanggapi berbeda oleh pengacara dua komisioner KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
Ahmad Rifai selaku pengacara Bibit-Chandra melihat putusan terhadap Anggodo itu justru membuktikan bahwa tuduhan adanya rekayasa kepada kliennya semakin terang benderang. "Kronologi pemerasan oleh pimpinan KPK yang dibuat oleh Anggodo menjadi tidak ada dasarnya," ujarnya.
Rifai pun meminta kepada pihak penegak hukum segera melepaskan dua kliennya dari kasus menerima suap seperti yang dituduhkan kepolisian. "Bukti-bukti Pak Bibit dan Pak Chandra memeras tidak ada. Jadi sandiwara Anggodo selama ini yang merasa diperas pimpinan KPK menjadi terbongkar semuanya," ujarnya.
Rudi Satrio, pengamat hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), menilai bahwa vonis terhadap Anggodo membuktikan bahwa kasus Bibit-Chandra telah direkayasa. Apalagi, bukti call data record percakapan antara Ade Rahardja dan Ary Muladi juga ternyata tidak ada.
Oleh karena itu, seharusnya penyidikan kasus ini tidak berhenti di Anggodo saja. "Semua yang disebut dalam bukti rekaman yang diputar di Mahkamah Konstitusi juga harus diusut KPK," kata Rudi.
Mengenai rekaman ini pertama kali dilontarkan oleh OC Kaligis. Pengacara Anggodo itu hakim untuk menghadirkan rekaman tersebut.
Majelis hakim pun memerintahkan kepada Polri yang diduga menyimpan rekaman itu untuk menghadirkannya di sidang. Polri kemudian berkilah, mereka tidak memiliki bukti rekaman. Bukti yang mereka miliki adalah berupa call data record atau CDR.
Namun, hingga persidangan kasus Anggodo berakhir, rekaman atau CDR itu tak kunjung dihadirkan dalam persidangan. Pihak Polri pun kemudian menyatakan bahwa CDR yang mereka miliki bukanlah catatan hubungan antara Ade dan Ary, melainkan Ary dengan pihak lain.
Hal senada diungkapkan Eddy OS Hiariej, pengamat hukum asal Universitas Gadjah Mada (UGM). Menurutnya, dengan putusan Anggodo terbukti bermufakat jahat untuk menyuap Bibit-Chandra, berarti rekayasa terhadap dua pimpinan KPK itu menjadi terbukti. "Ini momen bagi seluruh aparat penegak hukum untuk membersihkan kejaksaan dan kepolisian dari orang-orang seperti Anggodo," kata Eddy.
Eddy juga menilai bahwa putusan ini dapat dijadikan dasar bagi Mahkamah Agung sebagai pertimbangan dalam mengadili Peninjauan Kembali perkara SKPP Bibit-Chandra. "SKPP itu kan digugat Anggodo, dengan Anggodo terbukti bersalah, seharusnya MA mengabulkan permohonan PK dari kejaksaan," ujarnya.
Usulan dari Rudi dan Eddy ini mendapat dukungan dari Ahmad Rifai. Menurutnya, lembaga lain harus dapat menggunakan momen ini untuk membersihkan diri dari adanya mafia-mafia kasus.
****
Vonis terhadap Anggodo ini ternyata dinilai Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, masih terlalu ringan dan mengecewakan aktivis anti korupsi. "Secara keadilan tidak terpuaskan," kata Mahduf MD.
Menurut dia, pelaku korupsi dan penyuapan termasuk upaya penyuapan seharusnya dihukum berat. Tapi, kata dia, selama ini hukuman itu mengecewakan bagi pejuang-pejuang anti korupsi. "Kadangkala orang berharap mendekati 20 tahun kadangkala cuma empat tahun, dua tahun," ujarnya.
Dengan hukuman ringan itu, kata dia, rasa keadilan itu tidak terpuaskan. "Taruhlah kalau terpenuhi tidak, terpuaskan ada kalau hukuman setimpal," ujarnya.
Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, bahkan memberikan perbandingan antara vonis Anggodo dengan vonis seorang nenek yang dipenjara dua tahun karena persoalan bisnis senilai Rp5 juta.
"Ada orang, nenek-nenek, yang hanya persoalan Rp5 juta kaitan bisnis itu dipenjara. Saya mau bilang begitu saja, terserah anda untuk menerjemahkan," ucap menteri asal Partai Amanat Nasional ini.
Bahkan, Patrialis juga membandingkan vonis Anggodo dengan vonis pidana ringan, yang dihukum berat lainnya.
"Ada juga gara-gara uang Rp550 ribu, dihukum sembilan bulan penjara hanya gara-gara curi hp (handphone) dan hp-nya dikembalikan lagi. Kemudian dia tidak merugikan siapa-siapa tapi tetap dihukum sembilan bulan penjara," tutur Patrialis.
Apakah Patrialis merasakan ada ketidakadilan dalam vonis yang diberikan terhadap Anggodo? "Saya tidak mau memberikan penilaian. Tapi saya hanya ingin memberikan satu komparansi berdasarkan pengalaman saya di lapangan," ujar Patrialis. (sj)
0 Komentar:
Posting Komentar